Bengkulu Krisis Kepemimpinan, Pencitraan Mengalahkan Tindakan (Helmi Hasan Pahlawan ke-Tiktokan)

oleh -34 Dilihat
oleh

by:Ridhoan P Hutasuhut (Pemuda Bkl)

KHAZANAHNEWS.COM**Di tengah era digital yang semakin mendominasi kehidupan masyarakat, pola kepemimpinan juga mengalami pergeseran. Media sosial, yang awalnya menjadi alat komunikasi dan penyebaran informasi, kini menjadi panggung utama bagi banyak pemimpin untuk menampilkan diri.

Tak sedikit dari mereka yang memilih untuk tampil viral lebih dahulu sebelum benar-benar bekerja dan menghasilkan kebijakan nyata. Fenomena ini menjadi sorotan publik, karena kepemimpinan yang seharusnya berorientasi pada pelayanan dan integritas justru berubah menjadi ajang pencitraan.

Kesesatan Impor Daging Kerbau untuk Keuntungan Sesaat
Sabtu, 23 Juli 2022
Pemimpin yang lebih mementingkan eksistensi di dunia maya biasanya memiliki strategi komunikasi yang kuat tetapi miskin substansi. Setiap kegiatan dikemas dengan apik dalam bentuk video, foto, atau narasi dramatis yang kemudian dibagikan secara masif. Tujuannya bukan lagi untuk memberikan informasi transparan kepada masyarakat, melainkan untuk membentuk persepsi dan menaikkan popularitas. Dalam hal ini, kerja nyata dan dampak langsung pada masyarakat kerap tertutupi oleh gemerlapnya pencitraan.

Inilah fakta d lapngan yang terjadi di provinsi Bengkulu tercinta memiliki Gubernur yang bernama HELMI HASAN, pemimpin yang sok visioner dan menggebu-gebu dalam menindaki masalah dan mengeluarkan kebijakan.

Beberapa dampak paling nyata dari gaya kepemimpinan ini adalah kebijakan yang tak mendasar dan tak kenal akan dampak dari kebijakan itu tersebut. Banyak keputusan yang diambil lebih untuk konsumsi publik ketimbang efektivitas di lapangan. Misalnya
1. Permasalahan Pelabuhan

Subsidi BBM Bebani APBN, Nyatanya Gaji Direksi Pertamina Foya-foya
Senin, 5 September 2022
Menelisik Konflik Rusia Terhadap Ukraina
Rabu, 10 Agustus 2022
Dalam persoalan pelabuhan, Gubernur Bengkulu tampil di media sosial seolah-olah sebagai pahlawan, tanpa memahami sepenuhnya regulasi serta kondisi riil yang dihadapi masyarakat. Kebijakan yang diambil lebih bertujuan untuk menciptakan pencitraan ketimbang menyelesaikan masalah secara komprehensif. Aksi yang ditampilkan di media justru menunjukkan ketidaktahuan terhadap akar persoalan, dan menjadi bukti bahwa yang dikejar adalah eksistensi, bukan solusi.

2. Pelaksanaan Job Fair

Janji-janji yang disampaikan melalui TikTok ternyata tidak sejalan dengan kenyataan. Ribuan masyarakat merasa dikecewakan karena informasi yang disampaikan tidak akurat. Situs lowongan kerja yang diunggulkan pun dipenuhi kekurangan teknis dan konten yang tidak valid. Alih-alih memberikan solusi nyata terhadap pengangguran, kegiatan ini justru menjadi ajang pencitraan yang menyesatkan.

3. Pernyataan Siap Menampung Warga Gaza

Pernyataan bahwa Bengkulu siap menampung warga Gaza sangat kontroversial, apalagi disampaikan di tengah situasi nasional yang juga penuh perdebatan. Di saat daerah sendiri masih menghadapi banyak persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya fasilitas dasar, keputusan ini terkesan mengada-ada dan tidak berpijak pada kapasitas serta urgensi lokal. Sekali lagi, yang tampak lebih diutamakan adalah efek viral dan pencitraan internasional.

4. Aksi Bersih-Bersih Pantai Panjang

Langkah ini kembali menegaskan pola yang sama: mengedepankan viralitas. Padahal,kita tau pemprov baru dapat wewenang mengelola itu selama 3 tahun lalu kemana selama 10 tahun menjabat sebagai Wali Kota Bengkulu berarti ada 7 tahun, belum ada langkah signifikan yang dilakukan terhadap pengelolaan Pantai Panjang. Pemprov Bengkulu sendiri baru menerima wewenang atas pantai tersebut dalam tiga tahun terakhir, sehingga tanggung jawab utama sebenarnya berada di tangan beliau sebelumnya. Namun, tindakan ini lebih difokuskan pada sorotan publik ketimbang evaluasi tanggung jawab yang nyata.

5. Konflik Gubernur vs Mahasiswa

Dalam konflik ini, narasi yang disebarkan ke publik hanya berasal dari pihak gubernur. Tidak ada ruang yang diberikan bagi mahasiswa untuk menyampaikan pandangan atau keberatan mereka secara adil. Hal ini menunjukkan bahwa yang diutamakan adalah membentuk citra positif di depan kamera, bukan membuka ruang dialog dan kritik yang sehat dalam sistem demokrasi.

6. Promosi Bengkulu melalui Willie Salim dan TikTok

Penggunaan influencer TikTok untuk mempromosikan Bengkulu menimbulkan pertanyaan besar: apakah yang dikenal dan dibanggakan masyarakat adalah provinsinya, atau hanya gubernurnya saja? Apakah strategi ini benar-benar berdampak positif terhadap daerah, atau hanya sebatas menaikkan pamor pribadi di media sosial?

Kondisi ini diperparah oleh media yang terkadang ikut memperkuat narasi pencitraan tersebut. Berita-berita yang mengedepankan sisi personal pemimpin—seperti gaya berbusana, aktivitas pribadi, atau momen haru saat menyapa rakyat—lebih sering mendapat sorotan ketimbang laporan investigatif tentang efektivitas kebijakan. Media massa dan media sosial menjadi alat legitimasi, bukan alat kontrol. Dalam iklim seperti ini, objektivitas publik dan akuntabilitas pemerintah mengalami penurunan.

Selain itu, pemimpin yang mengejar viral sering kali anti terhadap kritik. Mereka merasa telah “bekerja keras” karena mendapatkan banyak pujian di dunia maya, padahal keberhasilan sebuah pemerintahan seharusnya diukur dari perubahan nyata di lapangan, bukan dari jumlah likes atau views. Kritik dianggap sebagai serangan terhadap citra pribadi, bukan sebagai masukan konstruktif untuk perbaikan kebijakan. Akibatnya, ruang diskusi publik yang sehat pun terancam karena dipenuhi oleh pendukung fanatik dan buzzer yang hanya menguatkan pencitraan semu.

Fenomena ini juga merusak persepsi publik terhadap figur pemimpin ideal. Pemimpin yang bekerja senyap namun membawa dampak besar menjadi tidak terlihat, kalah oleh mereka yang pintar memainkan kamera dan narasi. Generasi muda, yang tumbuh dengan budaya visual dan konten cepat saji, bisa salah menilai mana pemimpin yang benar-benar layak diteladani. Ini merupakan tantangan besar dalam membangun demokrasi yang sehat dan berorientasi pada substansi.

Kepemimpinan yang baik seharusnya dimulai dari kerja nyata, transparansi, dan akuntabilitas. Seorang pemimpin yang tulus melayani tidak membutuhkan panggung, karena hasil kerjanya akan terlihat dan dirasakan oleh masyarakat. Pencitraan bukanlah hal yang sepenuhnya buruk, namun ketika itu menjadi tujuan utama, maka arah kepemimpinan telah melenceng dari jalurnya.

Pemimpin performative yang mengutamakan penampilan dan peranannya di depan publik, sering kali dengan tujuan memperlihatkan diri mereka sebagai sosok yang aktif atau peduli, namun tanpa ada upaya yang nyata di belakangnya. Kepemimpinan ini lebih mengutamakan bagaimana mereka dipandang publik daripada bekerja keras untuk perubahan yang berdampak.

Masyarakat juga harus lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh konten yang menarik secara visual. Budaya mengapresiasi kerja nyata harus ditumbuhkan kembali, agar pemimpin merasa terdorong untuk benar-benar bekerja, bukan hanya tampil. Pendidikan literasi digital dan politik menjadi penting agar masyarakat tidak hanya cerdas dalam bersosial media, tetapi juga cerdas dalam menentukan arah bangsa.

Rasanya perlu ada yang mengingatkan bapak HELMI HASAN untuk berbenah dan Hanya dengan cara ini, kita dapat mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin yang mengutamakan pengabdian daripada sensasi, dan yang memahami bahwa viralitas tidak akan pernah bisa menggantikan integritas. Kepemimpinan yang sejati tidak butuh sorotan kamera—ia butuh kepercayaan, hasil nyata, dan dedikasi tanpa henti kepada rakyat.

***

Ridhoan P. Hutasuhut, Pemuda Bengkulu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.